Berharap Gus Yaqut Perbaiki Carut Marut Kemenag & Hentikan Regenerasi Kader Radikalis

Kebijakan Kementerian Agama tahun 2020 perlu di evaluasi, khususnya mengenai peniadaan ujian seleksi mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke Al Azhar, Kairo, Mesir. Penundaan itu telah merugikan khalayak khususnya pelajar yang akan melanjutkan studi ke Mesir, kebijakan merugikan publik sekaligus cermin amburadul manajemen internal Kemenag ini harus segera diakhiri di era Gus Yaqut dan Dirjen M.Ali Ramdhani. Bulan Januari 2020, sebelum pandemi Covid 19 dinyatakan bencana nasional, Kementerian Agama RI mengumumkan akan membuka seleksi calon mahasiswa untuk kuliah ke Timur Tengah, baik program beasiswa maupun nonbeasiswa. Tiga negara yang akan menjadi tujuan; Mesir, Sudan, dan Maroko. Janji ini cukup menyenangkan hati. Arskal Salim, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada waktu itu, mengatakan bahwa pelaksanaan seleksi akan dilakukan pada bulan April 2020. Khusus untuk tujuan Al Azhar Mesir, Kemenag menyediakan 160 kuota beasiswa. Proses seleksi tetap berbasis komputer dengan lokal koneksi.

Arskal Salim berharap proses seleksi ini akan menghasilkan potensi potensi berkualitas dan akan membanggakan bangsa di masa depan. Komitmen kebangsaan harus menjadi bagian terpenting dalam proses seleksi ini, dan kelak sekembalinya ke Indonesia menebarkan Islam yang moderat. Tiba tiba saja, seiring pandemi Covid 19 yang tak kunjung tuntas, tanpa pertimbangan yang jelas Kemenag mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penundaan Seleksi Camaba Timur Tengah 2020 dengan nomor B 1046/Dj.I/Dt.I.III/PP.04/06/2020. Dengan adanya surat pemberitahuan ini, buyar segala mimpi indah para calon mahasiswa baru Al Azhar. Secara terpisah, situasi semakin memburuk dan tidak berpihak kepada kepentingan calon mahasiswa baru Mesir. Kemenag tiba tiba mengendus adanya masalah terkait pemberangkatan mahasiswa baru ke Mesir oleh sebagian oknum pondok pesantren. Mereka mengirim mahasiswanya ke Al Azhar Mesir, tanpa sepengetahuan Kemenag, dan menggunakan visa turis, bukan visa pelajar.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tiba tiba menyebut Pondok Ibnu Abbas (IBBAS) menyalahi aturan dalam pengiriman santri tingkat SMP dan SMA ke Mesir. Mereka diberangkatkan menggunakan visa turis, bukan visa pelajar. Kasus ini pun didalami oleh Mabes Polri, karena sempat meresahkan publik. Ali Ramdhani, Dirjen Pendis Kemenag, memperkuat temuan Kemlu dengan mengatakan bahwa keberangkatan santri IBBAS ke Mesir dilakukan secara non prosedural dan tanpa sepengetahuan Kemenag. Ditjen Pendis tidak pernah mengeluarkan rekomendasi belajar ke luar negeri bagi lulusan Pesantren IBBAS ini. Bahkan pesantren tersebut tidak pernah mengajukan permohonan rekomendasi. Jauh hari sebelumnya, Pondok Pesantren Ibnu Abbas memang sudah terkenal sebagai “sarang radikalisme” sejak lama. Tahun 2017 silam, Sat Binmas Polres Pekalongan menyambangi Pondok Pesantren Ibnu Abbas Cabang Pekalongan, di Kecamatan Wiradesa.

Kanit Bintibmas Sat Binmas Polres Pekalongan, Aiptu Sujarwo, beserta anggota menyarankan agar para pengurus pondok IBBAS memberikan ilmu dengan pandangan moderat, jangan sampai paham radikalisme masuk di pesantren. Dalam konteks yang semakin rumit ini, akibat faktor pandemi Covid 19 maupun kasus non prosedural oknum tertentu, berdampak langsung pada rumitnya pemberangkatan mahasiswa baru, khusus ke Al Azhar, Mesir tahun 2020. Hingga kemenag meniadakan Ujian seleksi ke Mesir dan Timur Tengah, Disebut khusus Al Azhar karena negara tujuan lain selain Mesir sangat sedikit peminat dan tidaklah bermasalah. Dalam kerumitan semacam ini, untung saja ada Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (PUSIBA), sebuah organisasi yang dikelola oleh Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia, hadir bagaikan malaikat di siang bolong. PUSIBA diharapkan mampu membantu menyiapkan calon unggulan dengan proses training dan seleksi yang ketat.

Kewajiban bergabung ke dalam PUSIBA adalah beban baru yang dirasakan dari regulasi Kemenag yang amburadul. Di satu sisi, program pelatihan dari PUSIBA akan banyak membantu calon mahasiswa baru. Tetapi, di sisi lain, orang tua santri terbebani dengan harus mengeluarkan biaya 2 kali lipat untuk kursus tambahan. Beban finansial ini dinilai cukup memberatkan, terkecuali Kemenag siap menanggung seluruh pembiayaan training di PUSIBA. Walaupun terpaksa mengeluarkan biaya tambahan, antusiasme masyarakat cukup tinggi. Hal itu terlihat pada capaian PUSIBA memang cukup bagus. Pada tahun 2020 ini saja, berhasil menyelenggarakan kursus bahasa . Nyatanya, 1600 alumni training ini berhasil lulus untuk melanjutkan studi ke Al Azhar, Mesir. Bisa kita bayangkan jika tanpa PUSIBA, tentu kebijakan serampangan Kemenag memutus kesempatan satu generasi melanjutkan studi ke al azhar. Kemenag yang semestinya menjadi regulator justru lepas tangan, meniadakan seleksi dengan alasan Corona tentu tidak masuk akal, karena ujian seleksi bisa dilakukan secara Online, ataukah ini bukti ketidakmampuan Kemenag mengadakan ujian secara online? Sungguh sangat di sayangkan. Tampaknya, regulasi Kemenag memang sengaja dibuat agar rumit. Bukti lain, Regulasi Kemenag mensyaratkan calon mahasiswa baru fasih berbahasa Arab oral dan menghafal Al Qur'an. Padahal, regulasi Al Azhar tidak mensyaratkan calon mahasiswa barunya hafal Al Qur'an. Kewajiban hafalan bisa dituntaskan di akhir ujian itu pun hanya satu Juz 1 tahun.

Aturan wajib hafal Al Qur'an dan fasih berbahasa Arab merugikan banyak pondok pesantren tradisionalis. hafalan al Quran di pesantren tradisonal umumnya hanya khusus pesantren Quran saja, karena Penekanan pondok pesantren tradisional umumnya adalah mencetak pribadi santri yang berakhlakul karimah, ahli dalam tata bahasa arab dan berbagai bidang ilmu pengetahuan agama, misalnya pesantren pesantren berbasis Salafiyah (Nahdlatul Ulama). Di sisi lain, regulasi Kemenag yang menekankan hafalan kelincahan berkomunikasi dengan bahasa Arab komunikasi semacam itu memberatkan pesantren pesantren tradisionalis yang dalam lingkungan pesantrennya tidak menggunakan percakapan bahasa arab, tentu saja Para santri yang tidak menekuni program Tahfizul Qur'an atau ikut ke Markaz Lughah Arabiah akan kesulitan melewati rintangan Kemenag sehingga terhambat untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke Al Azhar. Padahal, syarat itu hanya regulasi bikinan Kemenag tempo dulu, dan bukan standar dasar Al Azhar sendiri. Pengalaman penulis sendiri, dulu berangkat ke Al Azhar tanpa di seleksi Kemenag, tidak memiliki modal hafalan Quran, tidak lancar berkomunikasi bahasa arab, tapi dengan modal tata bahasa arab dan khazanah Islam dari pesantren Lirboyo mampu menyelesaikan pendidikan al Azhar dengan prestasi yang membanggakan, dan itu di alami ratusan alumni alumni pesantren salafiyah (NU) pada masa itu.

Terakhir, problem lain kebijakan Kemenag adalah regulasi tentang pembatasan kuota mahasiswa ke Al Azhar. Dari 20.000 pendaftar ujian seleksi Kemenag Hanya 1.500 an mahasiswa yang dinyatakan lulus mendapat rekomendasi dari Kemenag tiap tahunnya. Padahal, jatah kuota dari Al Azhar terbuka seluas luasnya, terlebih untuk jalur mandiri. Kemenag harus sadar diri. Dana beasiswa sejatinya bukan dari pemerintah Indonesia, melainkan dari pihak Al Azhar sendiri. Status Kemenag sebatas sebagai penyalur semata. Sebagai penyalur, tentu absah bila Kemenag membuat regulasi yang ketat. Tetapi, untuk kasus jalur mandiri, Al Azhar memberikan keleluasaan bagi siapa pun warga negara Indonesia yang ingin belajar ke Mesir. Selama mereka mampu membiayai hidupnya sendiri dan segala kebutuhan selama menempuh pendidikan maka Al Azhar akan wellcome dan menyambut dengan tangan terbuka. Ujian seleksi Kemenag senyatanya hanya formalisasi yang tidak jelas standarisasi dan efektivitasnya, buktinya mayoritas yang lulus seleski Kemenag, jangankan untuk masuk Azhar, mereka sampe dimesir setelah di tes ulang hanya di terima di tingkat dasar bahasa Arab Ma’had Lughah Mesir, bisa dikatakan ujian seleksi kemenag selama ini "tidak dapat dipertanggung jawabkan"

Karenanya, Kemenag perlu mempertimbangkan satu hal penting yaitu membuka jalur mandiri seluas luasnya. Indonesia memiliki penduduk sebesar 260 an juta jiwa. Jika regulasi membatasi keberangkatan calon mahasiswa ke Mesir hanya 1.500 orang saja per tahun, maka hal ini mencerminkan spirit kejumudan. Penguasa kolonial dulu juga pernah dalam sejarahnya mencoba melakukan kontrol atas warganya yang ingin kuliah ke Timur Tengah, termasuk Al Azhar Mesir. Upaya kontrol semacam ini terulang kembali di Kemenag sejak Menag Suryadharma Ali, hingga Menag Fachrul Razi, harapannya ini tidak terulang lagi di era Gus Yaqut dan Dirjen Pendis Ali Ramdhani. Bandingkan dengan Malaysia, yang tiap tahun mengirim mahasiswa mereka ke Al Azhar sebanyak 3000 sampai 4000 per tahun (themis.geocities). Padahal penduduk Malaysia sekitar 30 juta lebih saja. Ini sangat tidak berimbang dengan negara kita sebagai negara muslim terbesar di dunia.

Kementerian Agama di tangan Gus Yaqut maupun Dirjen Pendis M. Ali Ramdhani perlu memahami permasalahan ini dengan benar, bukan dari para pembisik yang tidak mengerti situasi yang sebenarnya. Publik berharap Kemenag memperbaiki manajerial internalnya sendiri. Salah satu aspek manajerial yang dimaksud adalah mengubah sistem seleksi bukan lagi banyaknya hafalan Quran, bahasa arab komunikasi, dan soal multiple choice. Tetapi penekanan ke tata bahasa arab dan penguasaan khazanah kitab kuning karena itu sejatinya yang dibutuhkan. Yang sungguh ironis, saat ini seolah Kemenag sedang berperang melawan radikalisme, namun yang tidak disadari dengan regulasi yang ada yaitu harus banyak hafalan al quran dan fasih berkomunikasi bahasa arab justru menguntungkan pesantren yang di anggap kurang moderat atau bahkan dianggap radikal, yang kurikulumnya memang mewajibkan hafalan al Quran dan komunikasi harian bahasa Arab. Jadi, sama saja kemenag selama ini tanpa sadar "beternak" radikalisme melalui regulasi yang ada, buktinya walaupun sudah dididik oleh al azhar dengan pemahaman islam moderat/wasatiyyah tetep saja radikal, karena sudah mendapatkan doktrin yang mengakar sebelum berangkar ke al azhar.

Terakhir, publik berharap, dengan Menag Gus Yaqut dan dirjen baru M.Ali Ramdhani, Kemenag mampu melakukan kelola manajemen lebih baik dan membuat kebijakan yang tepat guna dan sasaran sesuai dengan kebutuhan publik, sekaligus sesuai dengan kebutuhan negara republik Indonesia. paling sederhana, itu bisa dibuktikan kemenag dengan membuka kembali ujian seleksi studi ke al azhar Mesir di tahun ini, merubah regulasi (terkait syarat), dan membuka peluang seluas luasnya bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke al azhar Mesir, jika tidak, maka publik tidak perlu berharap banyak lagi dengan Gus Yaqut dan dirjen M.Ali Ramdhani, karena sejatinya tidak serius menangani radikalisme dan perbaikan tata kelola kemenag, namun demikian, penulis berharap itu tidak terjadi, karena sepengenalan penulis, keduanya kader terbaik yang di miliki "nahdiyyin". Wallahu a'lam bishawab" *Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *